What a tale my thoughts could tell

This is Playground in My Mind. If you could read my thought, love, these are some of my words unspoken nor wandering. Just like an old time movie, to reminisce and not to drift away from life

Friday, July 26, 2013

Dengarkan lebih..... dengarkan dengan baik....

Pembicaraan tentang mendengar sepenuh hati agar lebih sempurna, kita perlu menilik dan memeriksa—serta menghindari—beberapa hal yang dapat merusak "pendengaran" kita. Penilikan ini sangat penting, agar kita tidak sia-sia dalam mendengarkan.

Ibarat ibadah, meskipun kita sudah melakukannya dengan khusyu dan penuh kesungguhan, tetapi bila bercampur dengan syirik maka tak ada nilainya sama sekali. Begitu pula mendengar. Sekalipun kita tulus mendengarkannya, tetapi bila tak dapat menepis hal-hal yang merusak kebaikan mendengar maka kerelaan mendengar itu boleh jadi tidak membawa kebaikan.

Mohammad Fauzil Adhim (2002) mensinyalir, setidaknya ada lima faktor yang dapat membuat telinga tak bisa mendengar dengan baik. Pertama, memotong pembicaraan. Kesabaran untuk tidak memotong pembicaraan, telebih ketika yang berbicara kepada kita sedang dikuasai emosinya, akan meluluhkan sikap yang keras, meredakan gejolak amarah yang membakar, dan membangkitkan kebahagiaan pada hati yang sedang bersemangat. Kita, mungkin, masih ingat dengan seorang sahabat benama Uthbah yang datang hendak mematahkan semangat dan menjatuhkan Nabi Muhammad saw. dapat berubah secara mengejutkan karena kesabaran Nabi dalam mendengarkan dan sama sekali tidak memotong pembicaraan Uthbah.

Suasana psikologis yang paling tidak menyenangkan apabila kita sedang bersemangat sekali untuk bercerita, apalagi bila cerita itu sangat emosional, kemudian dipotong secara tiba-tiba. Bukan saja bisa membuat kita dongkol, pembicaraan yang terpotong tiba-tiba dapat menimbulkan situasi psikologis yang sangat tidak nyaman dan pikiran kita mengalami blocking. Kita tiba-tiba lupa akan apa yang mau kita bicarakan. Kita tiba-tiba mengalami transferensi atau pengalihan perasaan. Yang awalnya rasa tidak nyaman karena pembicaraan terpotong berubah menjadi kemarahan dan, bahkan, kebencian kepada orang yang memotong pembicaraan kita.

Kedua, menghakimi. Bila ada orang berbicara kepada kita, bersabarlah sejenak, usahakan untuk tidak menghakimi, apalagi menyalahkan. Menghakimi tanpa minta penjelasan (tabâyun) atau memvonis tanpa mendengarkannya sampai tuntas, akan mudah menyesatkan.

Ketika Rasulullah Saw. menghadapi pemuda yang datang kepada beliau untuk meminta izin berzina, Rasulullah Saw. tidak memberinya cap sebagai pendurhaka, tidak juga divonis sebagai penentang agama. Rasulullah Saw. memberinya kesempatan untuk berbicara. Dari sanalah beliau dapat mengarahkan pemuda tersebut kepada jalan kesucian tanpa perlu menyalahkan.

Ketiga, menerangkan. Saat percakapan berlangsung, kita mungkin sering mengalami, lawan bicara kita memberikan penjelasan atau komentar (ta'lîq) tidak perlu. Salah satu contoh penjelasan yang tidak perlu, tetapi sering terjadi di sekeliling kita, adalah ketika ada orang asyik menceritakan, "Waktu itu kak, saya belum tahu chating...?" Sebelum selesai berbicara, tiba-tiba lawan bicaranya menyahut, "Chating itu Mbak Siti, kan tinggal klik icon Yahoo Messenger, kemudian tulis ID dan Password, atau klik icon mIRC tulis nick dan chanel...."

Mari kita lihat kekeliruan yang terjadi pada percakapan tadi. Pertama, orang pertama sudah mengatakan bahwa ketidaktahuannya terjadi pada masa lalu. Frasa "waktu itu" menunjukkan bahwa saat ini dia sudah tidak lagi seperti waktu dahulu, dia sudah paham betul apa yang dulu dia tidak mengerti. Oleh arena itu, tidak perlu kita terangkan. Kedua, menerangkan perkara-perkara yang tidak perlu diterangkan justru menunjukkan satu di antara dua, atau bahkan kedua-duanya, yakni kesombongan atau kebodohan kita. Orang sombong menganggap orang lain berada di bawahnya sehingga ia ingin menunjukkan ketinggiannya, sedangkan yang bodoh berkata tanpa ilmu. Ia ingin menunjukkan kepandaiannya yang sangat sedikit, dan justru di situlah tampak betapa sedikitnya ilmu yang ia miliki.

Keempat, menasihati. Nasihat menasihati itu perintah agama; melaksanakannya merupakan kebaikan. Akan tetapi, ia berubah menjadi keburukan kalau kita tidak menyertai dengan cara yang tepat. Di antara sumber keburukan adalah hilangnya kesabaran. Kita tidak mampu menahan diri untuk manasihati. Bila kita mau mendengar sejenak, bisa jadi kita justru tak perlu memberi nasihat. Bersabarlah sejenak, bisa jadi orang yang akan kita beri nasihat sudah menyadari kekeliruannya.

Kelima, merasa tidak sabar. Tidak sabar mendengar bersumber dari keengganan untuk mendengarkan. Munculnya keengganan itu bisa karena ada hal yang lebih menarik bagi yang bersangkkutan, sedang tidak berminat untuk berbicara, atau karena tidak meminati isi pembicraan, atau bisa juga karena dia memang terbiasa tidak mendengarkan dengan baik.

Betapa sulitnya mendengarkan pada saat kita sedang berkeinginan untuk melakukan hal-hal lain. Semoga kita merupakan bagian dari"al-ladzina yastami'ûna al-qawla wa yattabi'ûna ahsanahu

No comments:

Post a Comment